ketika berbagi itu terasa indah..

Minggu, 06 November 2011 02.29 by SHINTA TRILUSIANI
Ehem assalamu'alaikum wr.wb :)
Udah lama aku nggak nyentuh keyboard di laptop ini untuk menggurat sejumlah kata-kata elektronik.Nggak tahu kenapa, hari ini, disela-sela lelah, di sela kejenuhan lagi kepenatan, di sela praktikum yang rutin tanpa ampun, rasanya jari ini tergelitik untuk menuangkan kisah berharga yang aku dapat hari ini..
Happy eid mubarak guys !
Selamat Hari Kurban :)
Selamat datang lemak-lemak baru !
#JLEB.Agak menyakitkan memang menyadari begitu 'jujurnya' kalimat terakhir yang khilaf saya utarakan.hehe..

Hari ini hari idul adha. Hari dimana setiap muslim merayakan nikmatnya berbagi.
Apakah berbagi itu sungguh nikmat? Ya..itulah yang akan kita ceritakan bersama pada lembar elektronik ini.
Sejumlah kisah yang kusenyawakan menjadi sebuah pembelajaran, terutama untukku sendiri.



Mengenai manusia dan berbagi.

Agak asing rasanya membaca tulisanku sendiri. Mungkin sudah lama nggak nulis (dan di published). Kok jadi kayak narasi cerita ya?
Ya jika memang terjadi sedikit penyimpangan dalam gaya bahasa, anggap saja memang biasanya dan normalnya seperti ini. Walau memang agak sulit tentunya mengganggap saya normal.hehe..

Aku menggotong pahlawan-pahlawan super di cerita ini kepada kita semua. Bukan untuk menggurui, bukan untuk menceramahi karena pada dasarnya aku bukanlah guru, pun bukan pula ustadzah. Aku hanya berharap ada 'esensi' yang bisa ku bagi. Tak ada hariku yang berlalu biasa-biasa saja. Seperti itu juga hari ini..

Tahun ini adalah tahun ketiga yang aku lewati secara MANDIRI di kota juang. Ehehe agak berlebihan huruf capslocknya ya? (sengaja biar sangar)

Benar. Ini tahun ketiga, dimana pada hari idul adha nya aku tidak pulang kerumah.
Tahun pertama? Aku menangis meraung-raung diantara orang-orang yang sedang sholat ied HAHAHA. Pasti mereka keheranan. Cuma sayangnya, aku bukanlah orang yang sering mempedulikan apa yang mereka pikirkan. Toh Tuhan itu adil. Masing-masing kita punya otak yang bisa berfikir. Mau berfikiran apa tentangku ya sudah silahkan itu hak mereka. Aku kan juga punya otak yang bisa berfikiran apapun tentang mereka, terserah aku  hehe..

Tahun kedua? Aku sudah mulai bisa tertawa. Menghabiskan waktu dari pagi bareng bang jae hunting foto orang-orang yang lagi sholat. Damai sekali rasanya melihat mereka rukuk dan sujud bersama. Tidak terlihat ada manusia yang kedudukannya lebih tinggi disini.Semua sama-sama merunduk. Tenang sekali melihatnya.

Tahun ketiga? Yah..hari ini sedang berlari. Melompat dari satu detik berganti ke detik baru yang lain. Bergulir dan semakin bergulir ke waktu senja. Hari ini aku sholat ied di lapangan masjid al-wasi'i di dekat kosan. Walau dekat, tetap saja aku telat kesananya --__--"

Sepulang sholat, perutku sudah meraung-raung meminta jatah. Alhamdulillah, Ibuku tercinta selalu mengirimi anaknya ini sejumlah makanan rumah. Walaupun aku tahu di rumah, pasti beliau selalu menangis kalau melihat makanan kesukaanku di atas meja yang sudah tersaji dengan indah.

Aku mengajak sejumlah anak-anak kosan, teman-teman senasib dan seperjuangan untuk makan seadanya. Mencicipi bekal dari rumah yang disiapkan Ibu. Namun sayang-sayang si patu gelang (siapa itu?) aku lupa masak nasi banyak --__--" sehingga aku minta tolong kak dini untuk masakin nasi. Namun tak lama setelah itu sembari menunggu nasi matang, seorang teman memanggilku. Aku menyahut lalu keluar kamar.

"Shin..Disuruh Ibu kos turun. Disuruh makan lontong dulu dibawah."

Aku hanya merespon dengan senyuman. Entah kenapa, ada perasaan sedih yang langsung bergelayut di tirai-tirai hati. Aku masih tersenyum lalu memberitahu kepada kak dini dan bang jae yang ada di kamarku untuk turun karena dipanggil ibu kos. Namun, mereka tetap tidak mau turun kalau aku tidak ikut turun. Setelah melalu perundingan panjang, melalui perundingan meja persegi, perjanjian renville, akhirnya aku ikut juga dan turun ke bawah. Di bawah, anak-anak kosan sudah cukup ramai. Ibu kos dan saudaranya menyambut dengan ramah meminta kami untuk segera makan.

Terlihat benar guratan kebahagiaan itu.
Tanda syukur yang begitu jelas terpampang di wajahnya yang semakin menua.

Kami mengambil makanan di balik dapurnya. Aku melihat sejumlah makanan yang biasanya rutin dijumpai di rumah-rumah saat lebaran tiba. Ada lontong, opor ayam, telur, sambal kentang dan sejumlah makanan lain. Aku mengambil secukupnya dan makan begitu lahap.

Senyum tak pernah pudar diantara kerut-kerut wajah yang semakin nyata. Begitu bangga raut wajahnya. Setelah makan, kami berbincang-bincang dan bercanda tawa. Aku benar-benar merasa ada di 'rumah'. Mungkin di rumah jauh lebih 'wah' dan istimewa, tapi tak salah jika harus menyebut ini sebagai rumah kedua yang bermakna :)

Ibu kosku bukanlah orang yang berada. Suaminya sudah menghadap Illahi dan anaknya kudengar sedang berada di suatu tempat rantau, jauh darinya. Sekarang beliau tinggal dan menjaga kos bersama 1 keluarga yang kukira sepertinya itu adalah saudaranya atau mungkin saudara dari pemilik kosanku yang sangat kaya raya. Saudaranya itu tak jauh beda kondisinya dengan ibu kosanku. Bukan dari kalangan atas.
Aku merenungi selama makanan itu menempuh perjalanan jauh kedalam sistem gastrointestinalku.
Mereka bukanlah orang berada. Bahkan aku sangat yakin, anak-anak di kosan ini yang notabene adalah anak-anak kedokteran jauh lebih berada daripada mereka, ibu kosku dan saudaranya.

Tapi jiwa mereka jauh lebih luas daripada ketidakberadaan mereka.

Aku semakin yakin, memberi itu menimbulkan rasa bangga tak terkira, senang yang tak terukir dan kebahagiaan yang tak terpetakan. Bukankah ini adalah definisi nikmat?

Semakin aku merenung, semakin aku bertambah kerdil rasanya. Sungguh tak ada apa-apanya aku ini. Tak seujung kuku keluasan hati mereka. Ketidakmampuan bukanlah alasan apalagi hambatan untuk memberi. Karena nikmat dari itu semua lagi-lagi tak akan bertemu batasnya.

Hatiku semakin gemuruh ketika aku mendengar cerita ibu kos bahwa mereka memotong 2 ekor ayam untuk hari ini. Bukanlah murah hitungannya untuk mereka. Aku ingat betul, tengah malam sebelumnya mereka sibuk menyiapkan ini semua. Semakin remuk hatiku.

Sungguh kalau hati ini dikeluarkan dari ruangnya, pastilah ia hadir dengan kehilangan bentuk.
Aku akhirnya menyadari kandang hewan yang dibuat baru beberapa hari, dibawah tangga itu tak lagi ada penghuninya. Sungguh rasanya sedih dan haru itu tak bisa dipisahkan. Seperti kembar dempet yang hidup dengan 1 jantung, 1 hati dan sepasang paru-paru. Sedih dan haru saling rangkul merangkul, berdekap begitu erat hingga membuatku tercekat. Tak perlu kujelaskan bahwa ayam yang kami makan hari ini adalah ayam-ayam yang tiap harinya bermain bersama anak-anak kecil itu dan menghiasi kandang di bawah tangga. Mungkin hanya kecurigaanku saja. Mungkin ayam-ayam itu sedang bermain kemana dan belum pulang. Tapi entah kenapa aku begitu yakin, bahwa bagian tubuh ayam yang biasanya berkeliaran itu telah masuk ke perutku. Bahkan sampai sore ini pun, keberadaan ayam-ayam itu tak kunjung tampak. Kami semua melumat ayam-ayam itu bersama bumbu-bumbu aduhai yang sungguh terasa nikmat.
Hatiku semakin kagum dengan besarnya jiwa-jiwa mereka.
Seolah hadir dalam bentuk tamparan perih yang berbekas dan tak akan bias.

Terkadang, untuk berbagi kita selalu menunggu kecukupan. Sayangnya kita pasti lupa bahwa manusia itu tidak akan pernah cukup. TIDAK AKAN PERNAH !!!
Sungguh, berbagi itu tidak harus menunggu kecukupan, tapi justru dengan berbagilah kita akan merasa CUKUP.
Mereka yang tidak pernah menunggu kecukupan untuk memberi tahu bagaimana rasanya bangga lagi bahagianya memberi. Merasa menjadi manusia seutuhnya ketika ada MANFAAT yang bisa kita bagi. Bukan malah selalu berharap dan meminta manfaat orang lain.

Cukuplah Allah SWT yang kelak akan mencukupkan kita.
Mungkin tidak dengan harta di dunia.
Atau pandangan istimewa manusia-manusia yang menaikkan derajat atau mungkin tahta.
Mungkin tidak juga dengan pujian atau balasan serupa dari manusia.

Yakinlah, Allah SWT itu punya perhitungan sendiri untuk membalasnya.
Tidak pernah ada kerugian dalam sebuah bisnis bernama M.E.M.B.E.R.I.

Memperluas jiwa, menenangkan hati, melapangkan rasa bangga.
Mungkin itu salah satunya.
Jika mungkin belum di dunia, di akhirat nanti tentu ada balasan yang lebih PASTI!

Sungguh..Allah SWT itu benar-benar Maha Pengasih lagi tak pilih kasih..

Terima kasih Allah, untuk satu lagi kisah LUAR BIASA hari ini..
Selalu kunanti skenario indah yang tak pernah habis Engkau lukiskan dalam untaian nafasku di dunia.
Dan selalu ajari aku untuk hidup dengan selalu memberi.
Karena sampai kapanpun..
Sungguh sampai KAPANPUN,

Aku ingin hidup berarti dan senantiasa memberi arti..

(Bandar Lampung, 6 November 2011)

0 Response to "ketika berbagi itu terasa indah.."

Posting Komentar

gapapa komen yang pedas..asal dengan kata-kata CERDAS !