Naik Haji

Kamis, 05 November 2015 20.34 by SHINTA TRILUSIANI
Sedari dulu aku selalu berfikir, jika saja Ayah dan Ibuk tidak menyekolahkan kami bertiga hingga ke jenjang pendidikan S1, mungkin hidup mereka akan cukup berlimpah.
Jika saja Ayah dan Ibuk tidak pernah memiliki harapan yang tinggi akan pendidikan dan masa depan kami seperti saat ini, mungkin sudah lama mereka berangkat menunaikan ibadah haji.

Terlebih biaya pendidikanku di kedokteran yang tidaklah murah.

Orang tuaku bukanlah orang yang sangat berada. Mereka hidup cukup, dengan semua asa tentang masa depan anak-anak mereka yang selalu membayangi mereka. Jika saja aku boleh mencintai manusia selain Rasulullah SAW lebih dari apapun di muka bumi ini, maka aku tidak punya jawaban lain selain mereka berdua. Rasanya cukup fasih dengan cinta tanpa pamrih yang mereka teladankan.

Ayah dan Ibuk adalah 2 orang pegawai negeri biasa. Ayah adalah pegawai negri biasa dan Ibukku adalah seorang guru matematika. Tapi impian mereka luar biasa. Mereka mengharapkan kehidupan yang lebih baik untuk ketiga orang anak-anak mereka. Aku masih ingat benar, bagaimana orang tuaku khawatir tidak mampu membekali kami hingga ke jenjang sarjana. Betapa deg-degan-nya Ayah ketika aku diterima di fakultas kedokteran. Betapa tangguhnya mereka yang tidak pernah mengeluh atau meminta bantuan siapapun selama membiayai sekolah kami. Pelajaran yang selalu dicamkan oleh Ayah dan Ibuk adalah jangan pernah meminta, jangan pernah mengemis!

Aku selalu terharu jika mengingat mereka berdua. Rasanya, jika air mata menjadi tinta maka tetap tidak akan pernah lahir sebuah romansa yang melebihi pengorbanan dan cinta mereka.

Sebenarnya tiba-tiba saja aku ingin menulis sedikit tentang mereka. Agak random memang. Hal ini bermula di suatu siang disaat aku bertugas sebagai dokter internsip di Puskesmas, aku bertemu dengan sepasang suami istri yang datang untuk meminta surat keterangan sehat.

"Selamat siang ibu, bapak. Saya dr.Shinta ada yang bisa saya bantu?"
"He'eh iya dok. Ini Saya dan istri mau buat surat keterangan sehat.."
"Oh surat keterangan sehat ya? Keperluannya untuk apa bu, pak?"
Sambil malu-malu sang bapak menjawab "Untuk daftar haji dok.."

Setelah melalukan pemeriksaan, aku kembali ke meja untuk menuliskan hasil pemeriksaan. Kemudian bapak dan ibu tersebut aku persilahkan duduk kembali. Aku memang sering ngobrol dengan pasien biar lebih akrab dan mereka tidak bosan. Iseng aku bertanya kepada mereka.

"Pekerjaannya apa pak?"
"Nelayan dok.."
"Oh..ibu pekerjaan nya apa?"
"Kalau saya ibu rumah tangga aja dok.."

Wah hebat. Mungkin bapak ini adalah nelayan yang menjadi bos dan punya banyak kapal-kapal besar pikirku mengingat Puskesmas tempatku mengabdi adalah daerah perpantaian.

"Iya dok, saya daftar-daftar saja dulu dok. Masalah kapan dipanggilnya kapan saya belum tahu dok. Mungkin bertahun-tahun lagi dok." kata si bapak sambil tersenyum optimis. Rasa-rasanya khayalku tentang pekerjaannya sebagai seorang bos besar yang memiliki banyak kapal langsung musnah ketika melihat penampilan kedua suami-istri yang sangat bersahaja ini.

Aku hanya mampu terdiam, terpaku dan sisa-sisa kesadaranku langsung menghulu pada wajah kedua orang tua di rumah. Lagi-lagi memang terasa sedikit random. Langsung terbayang olehku wajah Ayah dan Ibuk. Mereka terbilang mampu jika dibandingkan dengan sepasang suami-istri yang barusan ku temui. Namun, mereka menghabiskan banyak waktu,berkorban banyak materi dan banyak kesempatan untuk menunaikan rukun islam ke 5 itu, demi kami, demi aku dan sesuatu dimensi bernama masa depan.

Seketika aku merasa berdosa, mereka tidak pernah menjadikan kami alasan keterlambatan mereka untuk berangkat haji, tapi bagi Ayah dan Ibuk itu hanya sebuah 'penundaan'. Padahal aku menyadari benar, bahwa umur sungguh sangat rahasia. Tidak ada yang tahu batas masa seseorang di bumi.

Bagiku, Ayah dan Ibuk sangat memahami konsep dan konsekuensi ketika mereka memutuskan untuk  berumah tangga. Bukan hanya setelah mengijab-qabul-kan Ibukku maka urusan Ayah selesai. Bukan. Bukan pula ketika kami bertiga telah lahir ke dunia maka tanggung jawab Ayah dan Ibuk selesai. Bukan. Tapi bagi Ayah dan Ibuk, pengorbanan ini bukan mengenai 'kisah sebentar', tetapi mengenai keselamatan dan kebahagiaan kami di dunia juga di akhirat.

Bagaimana mungkin, aku tidak cinta :"

Ketika pulang nanti selesai internsip, aku ingin langsung mendaftarkan Ayah dan Ibuk untuk berangkat haji, entah bagaimanapun caranya. Jika Allah mengizinkan, maka tidak ada yang tidak mungkin. Dan aku tidak pernah kecewa berdo'a kepada-Nya.

Seketika aku pun langsung mengazamkan kembali niatan ku untuk selalu menjadi sebab bagi kebahagiaan mereka dunia dan akhirat. Aku berniat dan berdoa semoga Allah memberi umur panjang yang berkah dan bahagia untuk Ayah dan Ibuk. Dan Allah, semoga Engkau memampukanku untuk itu semua.

(sumber pict : media.shafira.com)

Aku mencintai kalian, Yah..Buk.. karena Allah. Semoga kita sekeluarga selalu bahagia hingga ke syurga-Nya Allah yaa :')


-Bandar Lampung, 6 November 2015-

4 Response to "Naik Haji"

  1. Indah "iin" Alsita Simangunsong Says:

    Anak bungsunya kapan naik pelaminan?

  2. Indah "iin" Alsita Simangunsong Says:

    Anak bungsunya kapan naik pelaminan?

  3. Unknown Says:

    Anak bungsunya kapan ambil anak gadis orang?

  4. SHINTA TRILUSIANI Says:

    icik deeehh klen -__-

Posting Komentar

gapapa komen yang pedas..asal dengan kata-kata CERDAS !