Dewasa dan Anak-anak

Selasa, 13 Desember 2011 03.17 by SHINTA TRILUSIANI
Kita benar-benar sudah masuk ke dalam tahap WASPADA!
Benar..
Saat ini, kita telah tiba pada masa dimana ideologi dirongrong dengan begitu nyata.
Kemunafikan menebar bak benih-benih surga. Penipuan tak lagi pandang dosa dan neraka.
Pencurian seolah menjadi hal yang lumrah. Korupsi menjadi cerita yang sepertinya halal-halal saja. Uang menjadi tahta diatas segala kuasa. Kita seolah tak lagi mengingat Dia yang Mencipta. Ah, benar kawan..Kita adalah generasi yang hidup di masa seperti ini. Bahkan lebih parah, mungkin kitalah PENYEBAB dari semua ini.


Aku benar-benar rindu.
Seolah cerita ini bersemayam dalam sebentuk bayangan nyata di kotak ingatan. Tercekatlah aku oleh rindu itu. Masa yang seolah memanggil-manggil pilu. Karena terlupa atau memang habis masanya lalu musnah.
Masa dimana kebohongan adalah suatu hal yang terasa hina, mencuri adalah haram rasanya.
Kepolosan menjadi agung sebagai ekspresi tak terbantahkan. Imanjinasi menjadi juaranya. Persahabatan adalah kehangatan dan ketulusan terpancar murni dari sana. Tak ada yang palsu.
Benar. Semua terasa indah.

Otakku seolah menangkap sebuah frekuensi tinggi dari masa lalu. Dari sebuah masa indah bernama masa anak-anak. Masa dimana kita tidak perlu takut dikira gila saat bermain kemana-mana hanya menggunakan pakaian seadanya. Masa dimana kita tidak perlu malu mengikuti semua ajang juara dan berekspresi gila. Masa dimana kita bebas berlari, bermain, bersenda gurau. Masa dimana kita tidak perlu merasa jenuh dengan hari-hari yang ada. Masa dimana kita tidak perlu lelah apalagi gundah menjalani tugas-tugas yang seolah tak henti tercipta. Masa dimana kita tidak perlu malu memiliki impian-impian dan imajinasi yang luar biasa.
Masa dimana kita pergi ke sekolah bersama teman-teman dalam suka dan cita, lalu pergi mengaji bersama di sore harinya.

Kita seperti tersesat dalam kehidupan kita sendiri.

Mungkin kita tak lupa, hanya saja belum mau untuk mengingatnya, kapan pertama kali kita mencontek? Pasti jawaban kita berbeda, tapi dari berbagai jawaban teman yang ku tahu, kebanyakan menjawab pada saat SMP. Atau bahkan ada yang menjawab saat SMA. Pernahkah kita mengingat, meresapi atau bahkan merasakan kembali bagaimana rasa bersalah yang bergejolak dalam hati ketika hal itu terjadi? Sedangkan pada masa sekarang? Sudah seberapa sering kita melakukannya? Dan bagaimana perasaan kita setelah melakukannya? Tidak kah ada lagi gejolak-gejolak rasa bersalah itu? Kemana perginya?

Atau, pernahkah kita bertanya pada diri kita, impian apa yang menurut kita paling luar biasa yang pernah kita fikirkan? Dan kapan kita pernah memikirkan impian itu? Yah, silahkan saja tertawa aku memang pernah memiliki ribuan impian sewaktu masa kecil dulu dan yang paling gila, setidaknya yang mampu ku ingat hingga saat ini, aku pernah bermimpi untuk menjadi penemu planet yang kuberi nama "shintanurs". Konyol tentunya kalau kita mendengarnya di masa sekarang, masa dewasa. Tapi aku tetap menganggap hal itu luar biasa. Imajinasiku telah mampu melanglang buana hingga ke luar angkasa sana. Terlepas itu semua akan terwujud atau hanya sebatas impianku saja. Memiliki impian yang besar adalah salah satu bentuk masa kecil yang indah. Banyak orang besar di luar sana yang membangun impiannya dari imajinasi yang terkadang dianggap gila oleh orang dewasa. Terkadang, nyatanya logika orang dewasa adalah penghambat paling nyata bagi sebuah kemajuan.


Pernahkah kita merasakan genggaman hangat dari seorang sahabat yang merangkul kita dengan tulus ketika luka membuat kita tumpah air mata? Pernahkah kita melihat tatap simpati yang ingin jatuh dalam duka ketika melihat kita ditimpa musibah? Bahu-bahu kokoh tempat lepasnya deru tawa dan air mata dari mereka yang bernama sahabat. Mungkin kita masih ingat ketika mereka menjadi suporter paling setia yang hingga kering suaranya ketika kita mengikuti sebuah lomba. Tempat berbagi canda, bertukar ilmu, berbagi cerita. Tempat kita melepas waktu, lalu menghabiskannya bersama-sama. Bersama-sama menjelajahi dunia, tanpa perlu memandang ada sisi yang tak sama, meleburkan semua kata 'perbedaaan'. Kemana rasa cinta kita yang pernah kita miliki terhadap sesama? Kemana kepedulian yang memang nyata dan tulus adanya? Kemana perhatian dan kebersamaan yang tak bersyarat itu? Bukankah kita pernah memilikinya? Atau semuanya telah menjadi sisa lalu binasa?
Sekarang individualis seolah menjadi cap dan ego tertinggi bagi orang-orang yang mengaku dewasa. Menganggap kepentingan diri sendiri adalah segalanya. Seolah hidup di dunia hanya untuk sendiri saja. Luntur sudah cinta dan kebersamaan yang pernah ada.

Tak mau ketinggalan pertanyaan ini mencuat dari akar-akar ingatan. Pernahkah kita mau mengingat kapan pertama kalinya kita membentak dan berteriak kasar kepada orang tua kita? Adakah kita lupa saat-saat mereka berpeluh susah lagi payah saat masa kecil kita? Tapi saat masa dewasa, saat sudah berkarung-karung beras telah kita makan, berjuta-juta penghasilan mereka tumpah untuk kita, balasan berupa bentakan dan ucapan kasar justru lahir dari bibir-bibir kita. Mencemari hati tentu saja. Aku yakin. Sebagian besar dari kita tidak ada yang berani membentak atau pun berkata kasar atau bahkan berbuat kasar kepada orang tua saat kita masih anak-anak? Perintah mereka dijalankan dengan ikhlas-ikhlas saja. Walau terkadang nakalnya kita ada dan anggap saja itu bumbu dibalik masa anak-anak yang indah. Sedang saat kita dewasa? Apakah kita merasa seolah lebih hebat,merasa lebih kuat,lebih segalanya dari mereka hingga kita pantas berbuat sedemikian rupa kepada mereka?

Terkadang aku ingin saja memilih untuk tidak dewasa. Kehilangan bagian-bagian penting ini sungguh rugi rasanya. Mempertahankan yang seperti ini pun tak kuasa sepertinya. Tapi aku tidak mungkin tetap hidup dalam tubuh si shinta kecil yang begitu liar imajinasinya. Masa dewasa itu seharusnya banyak dilengkapi dengan intropeksi diri. Makanya aku tidak pernah setuju jika masa lalu itu harus dilupakan. Seburuk-buruknya masa lalu ia tetaplah baik, selama ia mampu membuat kita lebih baik untuk kedepannya. Masa anak-anak mungkin adalah bagian terindah dari hidup ini. Tapi apalah arti masa lalu yang indah jika hidup kita di masa sekarang seperti itu saja, begini-begini saja.
Hidup adalah sebuah proses yang fluktuatif.
Sebuah proses yang progresif.
Untuk apa kita mengaku dewasa jika ternyata pemikiran dan sikap kita ketika kita anak-anak JAUH LEBIH BAIK?
Masa dewasa itu adalah masa evaluasi dan perbaikan diri.

Mungkin munafik sekali rasanya tulisan ini. Sungguh tidak ada alasan,niat atau apa pun unsur negatif lain atas penulisan tulisan ini. Toh aku juga pernah mencontek bahkan disaat-saat penting dan bahkan sering! ! Pernah berbohong, bahkan juga sering ! Pernah egois, ah aku tak ingat jumlah pastinya! Pernah berkata dengan oktaf yang cukup tinggi kepada orang tua, sunggu innalillah dan dosa-dosa lain yang membalut tubuh ini begitu erat.

Tapi ingatlah, Tuhan itu melihat kita yang sekarang bukan kita yang telah lalu.


Maka berusahalah untuk kembali 'mencuri' cinta-Nya.
Sungguh bumi ini masih membutuhkan kita.
Membutuhkan khalifah-khalifah luar biasa yang tidak perlu mengaku dewasa jika masa kanak-kanaknya jauh lebih berharga dan bermartabat!

Semoga kita benar-benar menjadi dewasa dalam arti sesungguhnya.

*untuk evaluasi diri sendiri yang sedang tersesat jauh lagi jatuh

-di sudut bumi Allah-

(Bandar Lampung,13 Desember 2011)

0 Response to "Dewasa dan Anak-anak"

Posting Komentar

gapapa komen yang pedas..asal dengan kata-kata CERDAS !