Bertahan dan Bersabarlah

Sabtu, 31 Maret 2012 21.40 by SHINTA TRILUSIANI
 Minggu yang cerah (sebenarnya)
Setelah semua aktifitas terjadwal sudah selesai dilaksanakan mulai dari mencuci baju, ngepel, nyikat kamar mandi, bahkan sarapan pun udah.
Kalau hari minggu rasanya kasur menjadi lebih manja dibanding hari-hari sebelumnya. Angin bersepoi-sepoi kemayu dari balik jendela. Seperti ada tangan paksa yang menarik tirai mata. Ahhhh ingin rasanya melepas lelah, bersantai-santai dan larut dalam zona nyaman yang memabukkan. Namun, saya teringat kata-kata tamparan dari Hasan Al Banna : Al wajabat aktsaru minal auqat,  "kewajiban lebih banyak daripada waktu yang tersedia.."

Segera ku bereskan kasur biar terlihat lebih rapi walau ternyata kelihatannya justru lebih menggoda. Aku nyalakan televisi dengan volume yang cukup keras. Sesekali hanya berdecak melihat berita-berita anggun yang memperlihatkan kobaran-kobaran api dari anarkisme perjalanan demokrasi. Atau cerita kriminal-kriminal tabrak beruntun yang memilukan. Atau segenap wajah penjilat menjijikkan dari para poltikus yang tiap hari menjadi momok yang bergentayangan di televisi. 
Halah bosan mendengarkan nyanyian kosong seperti ini.

Aku beranjak ke lepitepi (laptop) yang udah nangkring di atas meja belajar.
Niat awalnya ingin mengerjakan tutorial tapi apa daya, godaan twitter lebih besar dari keinginan untuk buka laporan hehe. Alhasil aku mulai nge-tweet gak penting (seperti biasanya). Tweet pagi itu di mulai dengan tweet abal-abal berikut :

"pagi ini udah ketemu 2 tomcat"

Tuh kan gak penting. 
Biar apa di tweet di twitter? 
Biar jadi trending topic heh? Biar jadi KLB? Dikenal sama menkes? #eh makin ngaco.

Setelah naik turunin kursor, mata ku terpana dengan sebuah nama yang di suggest untuk di follow di twitter. Sebut saja seorang teman bernama "Mawar"
Tapi kok bukan kayak mukanya mawar ya kok kayak muka nya marwan? #eh becanda..

Tapi beneran mukanya bukan seperti muka mawar yang aku kenal dari dulu. Muka nya dulu jauh lebih cantik dan polos. Pakaian yang dipakai difoto itu pun terlalu seronok menurutku. Aurat sudah terpapar jelas. Sangat jelas bahkan. Sampai aku bingung untuk apa dia menggunakan baju. 
Aku masih belum yakin kalau ini adalah mawar temanku. Lalu aku membuka foto-foto di twitternya.

Lalu tiba-tiba saja gemuruh di dadaku. Ini temanku si mawar yang wajah yang ratusan kali lebih dewasa. Dengan pakaian anak TK yang dipaksa-paksakan untuk masuk ke badannya. Rasanya ingin sekali menangis. Karena ekspresi mawar bukanlah malu atau merasa bersalah, namun justru bangga.
Bangga dengan kemolekan tubuhnya yang dinikmati kaum-kaum yang tak halal untuk melihatnya. Bahkan tidak sekali dua kali foto mawar bersama pacarnya sedang berlaku layaknya pasangan yang sudah ijab qabul.
Aku merasa miris dan teriris sekali. Aku memang tidak begitu dekat tapi jelas aku mengenalnya dan beberapa kali bermain dengan mawar. 
Aku tertegun.
Apa yang salah? Sekeras ini kah lingkungan merombak dan merobohkan keluguannya? 
Satu bayangan yang terlintas cepat di fikiranku saat ini..
"Apa yang dirasakan oleh keluarga nya melihat anaknya menjadi begini?"
"Orang tua nya? Kakaknya? Adeknya?" 

Beberapa saat yang lalu saat pulang ke kota ku, aku juga bertemu dengannya. Tentu saja dari sana aku memang sudah melihat perubahan dari gaya pada diri mawar. Namun sungguh aku tidak pernah membayangkan separah ini. Foto-foto yang tempatnya ku tebak sebagai diskotik pun ada di beberapa koleksi fotonya. Aku benar-benar kehabisan kata.

Terfikir olehku kehidupanku saat ini. Maha benar Allah, Perlindungan dari-Nya benar-benar nyata.
 Aku yang masih setia dengan gaya 'lama'ku. Masih setia dengan jilbab dan kaos kakiku. Masih sibuk dengan teman-temanku. Berorganisasi dan berkumpul dengan orang-orang yang lebih dewasa dariku. Masih setia dengan agenda wajib bersama teman-temanku. Bercanda dengan teman-teman di kosan. Sibuk dengan buku-buku, tugas kuliah dan komik-komikku. Masih setia dengan laporan-laporan jujur setiap harinya mengenai apa yang aku lakukan kepada orang tuaku. Masih setia untuk bercanda gurau dengan teman-teman di twitter, facebook, blog, tumblr. Masih setia untuk duduk berjam-jam menghabiskan waktu di depan televisi untuk menonton debat pendapat, acara motivasi dan inspirasi, stand up comedy, film mistery, imajinasi, atau film-film yang bertemakan kedokteran dengan intrik kemanusiaan yang kental sekali. Atau sesekali kuhabiskan kesetiaanku dengan eksperimen yang tidak jelas di dapur mini ku. 

Betapa beruntungnya aku, sungguh betapa beruntungnya aku.

Tentu saja ini semua karena ada campur tangan dari-Nya. Dia menitipkan aku untuk belajar di lingkungan yang kondusif, aman, terjaga. Berada di antara orang-orang yang siap membimbingku ketika aku bingung harus melangkah kemana. Menjadi bagian dari orang-orang yang rela bersibuk-sibuk mencari jawaban ketika aku kesusahan dan terjebak dalam pertanyaan hidup.

Betapa Tuhan menjagaku dari perubahan yang menghilangkan jati diri, perubahan yang menghilangkan rasa malu ku, bahkan yang paling aku takutkan adalah perubahan yang akan menjauhkan aku dengan Tuhanku.
Hanya rasa syukur untuk Allah Yang Maha Pelindung.

Dari SMA dulu, Tuhan menitipkan aku dalam lingkungan yang terkondisikan. Bersama sekelompok teman-teman yang tak pernah lelah mengingatkanku. Bahkan ketika aku salah langkah, mereka adalah barisan terdepan yang mencegahku untuk lebih jauh berlari dan tersesat dalam nikmatnya kemaksiatan. Mereka adalah teman-teman yang tak bosan mengingatkanku untuk tidak meninggalkan kegiatan kajian mingguan di SMA dulu walau mereka tahu betapa aku menghindari mengikuti kegiatan ini dikarenakan aku sudah mulai berpacaran.Mereka yang tak lelah memberikan tausyiah mengenal langkah yang aku putuskan. Mereka adalah penasehat kehidupan yang tak akan membiarkan aku terjun bebas dalam jurang kenistaan. Betapa beruntungnya aku hidup dan mengenal mereka.

Dulu aku mulai takut, apakah saat aku beranjak kuliah nanti, justru aku sendiri yang mencoreng hitam mukaku dengan aib yang aku perbuat sendiri. Kehilangan pegangan dalam hidup yang dinamis tak karuan lalu menyerah pada keadaan. Aku tidak ingin suatu hari orang melihatku larut dalam perubahan yang menyesatkan. Lalu mereka bertanya.."kenapa kamu jadi seperti ini?"
Aku tidak ingin menjadi pecundang yang akan menjawab.."Yah, mau bagaimana semua temanku begini. Biasa aja kali..gaul kayak gini mah..emang aku yang dulu, cupu?"

Jika memang pilihan hidup ini adalah menjadi cupu atau anak gaul tapi kehilangan identitas keagamaan dan sosialnya, maka aku jauh lebih bangga disebut anak cupu. Tapi toh kenyataannya tingkat kegaulan bisa berbanding lurus dengan ketaqwaan, asalkan gaul disini tetap gaul yang syari yang terlindung dari ikhtilat, khalwat dan segenap jebakan betmen yang telah dipasang rapi oleh setan.

Sungguh, aku juga bukan orang yang sempurna. Sering kali kaki ini tergelincir dan terkadang menikmati kesalahan. Namun biarkan kesalahan itu menjadi bagian dari pembelajaran.

Tapi lagi-lagi tetap saja aku merasa beruntung.
Saat melihat kondisi yang menyedihkan ini, tarbiyah benar-benar terasa fungsinya. 
Ia menjaga ketika yang lain meninggalkan, mengingatkan ketika yang lain larut dalam kelupaan. 
Ia adalah pompaan semangat ketika iman sedang melemah. Ia adalah tamparan ketika rasa malu telah berkurang.

Sayangnya tidak jarang, teman-teman yang dulunya merupakan aktifis dakwah di sekolah, atau anak-anak yang dulunya aktif liqo mulai melunturkan prinsip yang telah dipegang. Dengan alasan ya itu tadi..
"karena keadaan"

Dimana rasa malu mereka terhadap janggut yang telah susah payah ditumbuhkan dari zaman sekolah dulu. Dimana rasa malu mereka terhadap jilbab yang telah tergelar panjang yang kini hilang. Dimana rasa malu mereka terhadap mabit-mabit yang dulu diisi dengan kajian-kajian mengenai dakwah,yang sekarang tergantikan dengan telpon-sms genit kepada yang bukan mahram. Dimana rasa malu mereka terhadap pandangan yang dulunya selalu tertunduk tapi sekarang berani menjamah. Dimana rasa malu mereka terhadap sentuhan yang benar-benar dihindari tapi sekarang malah disengajakan. Ah sudahlah. Kita punya jawaban masing-masing mengenai dimana raga kita menyimpan rasa malu tersebut.
Entah pribadi atau iman yang melemah.

Kita hidup dizaman globalisasi yang plural.
Tidak banyak yang mampu bertahan untuk tetap berpegangan dengan prinsip yang telah tergenggam. Seleksi alam membuktikan, yang kuat yang akan bertahan, yang lemah akan berguguran, tersisih dan ditinggalkan. 

Jalan ini keras saudaraku.
Semakin banyak rintangannya, semakin deras cobaan kita.
Namun jika kita mampu bertahan dalam perjuangan ini, 
Percayalah..ada Allah yang sedang menunggu kita di persimpangan jalan kehidupan ini..

Bersabarlah dan tetaplah bertahan dalam perjuangan..
Jagalah nama baik bapak ibumu di rumah yang sekarang sedang bekerja keras agar engkau bisa hidup baik dan bahagia..Jangan kau biarkan mereka malu di depan Allah dan masyarakat. Jangan biarkan mereka menyandang gelar "orang tua gagal" hanya karena kebobrokan akhlakmu.

*nasihat untuk diri sendiri

disudut markas juang,
Bandar Lampung, 1 April 2012

0 Response to "Bertahan dan Bersabarlah"

Posting Komentar

gapapa komen yang pedas..asal dengan kata-kata CERDAS !