Anak Kampung

Kamis, 03 Januari 2013 00.05 by SHINTA TRILUSIANI
Ya, aku memang anak kampung. Berasal dari sebuah desa kecil, tinggal di sebuah kota dan provinsi yang tidak begitu besar. Dari sekujur darah yang mengalir dalam tubuh ini, riwayat menceritakan bahwa garis leluhurku berasal dari tanah sumatera.

Seperti hal-nya anak-anak kampung lain, aku juga cukup terbiasa dengan permainan-permainan tradisional seperti layang-layang, gasing, kelereng, lompat kodok, membuat boneka/pistol-pistolan dari pohon pisang dan permainan-permainan lainnya. Aku sangat menikmati masa-masa kecilku dulu. Ketika bermain memanjat pepohonan, belarian kesana kemari dan benar-benar menikmati alam sebagai sahabat sepermainan. Aku yakin, seperti apa aku sekarang adalah bagian pembentukan karakter yang dirintis oleh masa kecilku ketika di desa dulu.

Sampai akhirnya, orang tua ku pindah ke kota dan aku juga ikut pindah. Karena kota ku bukanlah sebuah kota metropolitan yang besar, aku masih dapat menikmati keasrian sebuah tradisionalitas dari daerahku. Dari alamnya, permainannya kental sekali terasa budayanya. Ketika masih di sekolah dasar aku masih sangat sering menikmati permainan tradisional khas anak-anak.
Amboi, seru sekali jika harus dikenang masa-masa bocah-bocah bau keringat matahari itu!

Ketika menginjak menengah pertama, aku berada di antara teman-temanku yang (kebanyakan) anak kota asli. Tidak jarang, teman-temanku yang di kota sering menertawaiku ketika mengetahui aku berasal dari desa. Hei, apa yang salah dengan anak kampung? Bukankah saat ini aku berada di satu tempat yang sama dengan kalian? Saat itu entah aku yang terlalu bangga karena bisa berada di posisi yang sama dengan mereka atau entah mereka yang harus malu kenapa bisa berada di posisi yang sama dengan anak desa seperti aku. 

Hingga akhirnya saat ini aku berada di sebuah kota yang katakanlah cukup besar dan cukup dekat dengan pulau jawa. Apalagi di jurusanku ada berbagai macam makhluk dari berbagai macam kota.
Tidak bisa disalahkan baik dari segi gaya, selera mau pun pemikiran seringkali jauh bertentangan antara si kota dan si desa. Wajar saja, bukan? Toh mereka berada di 2 tempat yang berbeda. Dengan fasilitas berbeda. Dengan pembentukan karakter yang berbeda pula.

Tidak jarang aku menangkap pandangan-pandangan yang seolah melontorkan kata "iyuuuuhhh bangeett siihhh.." dari mata seorang teman yang melihat kelakuanku yang dianggapnya kampungan, norak, udik, dusun. Atau bahkan kalimat langsung yang segar meluncur langsung dari mulutnya, "ihhh..norak banget sih.." dan aku? tetap saja tidak peduli bahkan terkadang semakin menjadi-jadi hahaha *kurangsadardiri* *pedelevelbombastis*

Karena bagiku kenapa kita harus malu? Karena bukanlah sesuatu hal yang memalukan atau menjijikkan jika memang menjadi anak kampung. Yang penting pemikiran kita tetap maju, elegan dan mampu berpacu dengan zaman. Makanya aku selalu heran melihat beberapa orang yang (berasal dari kampung) enggan mengakui asalnya. Lebih memilih bersembunyi dan melepas identitas lalu mengagungkan ego yang (menurutku) adalah bodoh.

Banyak orang malu kalo harus mengaku dari kampung. Takut dikatain cupu. Ah, bisa ditebas mungkin sama leluhurku alasan-alasan sepele seperti itu (bahkan sepertinya hal itu tak layak disebut alasan). Entah kenapa aku sih percaya mereka yang dari kota juga berasal dari desa kok. Mungkin juga desa yang peradabannya lebih maju, mekar dan menjadi kota.

Sebenarnya ibroh yang ingin aku bagi pada tulisan ini bukanlah terletak pada 'anak desa lebih baik' atau 'anak kota lebih buruk' atau pun sebaliknya. Bukan, tentu saja. Karena tidak ada batasan baik dan buruk selain al-qur'an dan hadist. Tapi ibroh yang ingin aku bagi adalah berhentilah memandang orang lain lebih rendah dan kasta kita jauh di atas dibandingkan dengan orang lain hanya karena menurut kita dia itu kampungan, norak, tidak selevel, atau apalah. Karena sedikit pun, Allah saja tidak pernah.

Padahal banyak kok anak kampung yang bisa sukses. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Bisa saja, orang yang selama ini kita rendahkan, kita pandang sebelah mata (bahkan mungkin sangat enggan kita pandang) menjadi orang yang jauh lebih sukses daripada kita dan (parahnya) di masa itu, bisa saja kita akan memohon (atau bahkan mengemis keujung sepatunya) meminta tolong pada orang yang sempat kita pandang rendah..

alangkah menyedihkannya!

Bandar Lampung, 3 Januari 2013

0 Response to "Anak Kampung"

Posting Komentar

gapapa komen yang pedas..asal dengan kata-kata CERDAS !